Dibela 3 Hakim MK Lewat Dissenting Opinion, Anies dan Cak Imin Umbar Pujian: Mereka Orang-orang Mulia

- 23 April 2024, 08:50 WIB
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menyampaikan terima kasih kepada tiga hakim MK setelah putusan soal sengketa Pilpres 2024 dibacakan.
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menyampaikan terima kasih kepada tiga hakim MK setelah putusan soal sengketa Pilpres 2024 dibacakan. /Instagram - @mahkamahkonstitusi/

INDOTRENDS.ID - Dibela 3 Hakim MK Lewat Dissenting Opinion, Anies dan Cak Imin Umbar  Pujian: Mereka Orang-orang Mulia.

Muhaimin Iskandar atau Cak Imin secara khusus menyebut 3 hakim tersebut menorehkan catatan indah bagi sejarah demokrasi dan kembalinya marwah Mahkamah Konstitusi. 

Meski akhirnya gugatan mereka ditolak 5 hakim MK dan hanya dibela 3 hakim, pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) akhirnya menyampaikan terima kasih kepada tiga hakim MK yang sampaikan pendapat berbeda alias dissenting opinion . 

"Putusan ini sebetulnya tidak mengejutkan, putusan hari ini mengkonfirmasi bahwa kita semua termasuk MK tak kuasa menghentikan laju pelemahan demokrasi di negeri kita tercinta," ucap Cak Imin, Senin 22 April 2024.

Ucapan terima kasih itu disampaikan kepada tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion alias beda pendapat, meski MK menolak gugatan kubu 01 dan 03. Menurutnya, para hakim tersebut merupakan orang-orang yang mulia.

Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan (kedua kiri) didampingi calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kedua kanan) memberikan salam saat menghadiri sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan (kedua kiri) didampingi calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kedua kanan) memberikan salam saat menghadiri sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa. ANTARA FOTO

"Sebagai catatan, kami sangat bangga dengan tiga hakim MK yang menyatakan dissenting opinion, yang saya muliakan prof Saldi Isra, Prof Enny Nurbaningsih, prof Arif Hidayat. Mereka adalah orang-orang yang mulia yang menjadi harapan bagi tegaknya konstitusi dan kembalinya marwah MK ke depan," kata Cak Imin menambahkan.

"Mereka akan menjadi catatan indah dan baik dalam sejarah kita berbangsa dan bernegara," ujarnya menambahkan.

Cak Imin mengungkapkan, Saldi Isra telah mengingatkan tentang keadilan substansial. Bukan sekadar keadilan prosedural.

"Ini adalah catatan amat penting yang sayangnya terabaikan dalam proses demokrasi kita akhir-akhir ini," ucapnya.

"Artinya kita memiliki tugas yang masih panjang, sebab demokrasi kita sesungguhnya masih ringkih dan harus terus-menerus dijaga dan dirawat. Namun kami masih menerima kita semua menghormati putusan MK ini sebagai keputusan yang final dan mengikat," tutur Cak Imin menambahkan.

Dissenting Opinion 3 Hakim MK

Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion dengan lima hakim MK lainnya. Adapun dissenting opinion terkait putusan MK yang menolak seluruh permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

"Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, terdapat dissenting opinion dari tiga orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat," kata Ketua Hakim MK Suhartoyo, di Gedung MK, Jakarta, Senin, 22 April 2024.

Sementara itu, Saldi Isra yang menjadi salah satu hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion lantas menguraikan perbedaan pendapatnya. Dia menyebut ada dua hal yang melatarbelakangi dirinya mengambil pendapat berbeda yaitu terkait penyaluran bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan aparat negara.

“Ada dua hal yang membuat saya mengambil haluan untuk berbeda pandangan (dissenting opinion) dengan pendapat mayoritas majelis hakim. Yaitu dalam persoalan mengenai penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

“Dan perihal keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah,” ucapnya menambahkan.

Paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menanggapi hasil putusan MK/instagram @cakiminow
Paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menanggapi hasil putusan MK/instagram @cakiminow

Uang untuk Pemilu

Lebih lanjut Saldi menyampaikan, bahwa yang menjadi persoalan besar dalam penggunaan uang untuk pemilu adalah soal asal usul dana tersebut. Menurutnya, apabila uang yang digunakan peserta pemilu bersumber dari keuangan publik atau anggaran negara maka derajat persoalan yang harus dihadapi akan bertambah berkali-kali lipat.

Sebab, kata Saldi, penggunaan keuangan negara yang tidak sesuai ketentuan dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Dia mengingatkan bahwa keuangan negara harus digunakan bagi kepentingan umum dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tanpa boleh ditunggangi untuk kepentingan yang bersifat pribadi maupun kelompok.

“Tidak sedikit literatur ilmiah dan kajian akademik di bidang politik dan hukum yang mengulas mengenai penggunaan keuangan negara dalam bentuk implementasi program pemerintah yang digunakan sebagai salah satu bentuk strategi memenangkan pemilu, khususnya dalam pemilu yang diikuti petahana (incumbent),” ucap Saldi.

Menurut Saldi, petahana akan menggencarkan implementasi program pemerintah, khususnya dalam waktu yang berdekatan dengan jadwal penyelenggaraan pemilu. Namun, kata dia, penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan aspek teoritis dalam konsep political budget cycle lantaran tidak terdapat petahana yang ikut berkontestasi.

Meskipun Presiden Joko Widodo tidak ikut dalam kontestasi Pemilu 2024, Saldi menyebut Jokowi tetap memiliki hak untuk memberikan dukungan politik kepada salah satu pasangan calon tertentu.

Konsekuensinya, lanjut Saldi, Jokowi berkesempatan melakukan kampanye dan memengaruhi pemilih untuk memberikan suaranya kepada pasangan calon yang didukungnya.

Akan tetapi, diungkapkan Saldi, seharusnya dukungan tersebut diberikan dalam kapasitas Jokowi sebagai pribadi, bukan sebagai kepala negara yang masih menyelesaikan program-program pemerintahannya.

“Pada titik inilah yang kemudian menjadi sulit untuk menilai tindakan seorang presiden sebelum dan selama penyelenggaraan pemilu,” tutur Saldi.

*** (Eka Alisa Putri/Pikiran Rakyat)

Editor: Dian Toro

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah