Kubu Anies di Sidang Sengketa Pilpres: Mengapa Jokowi Rajin Gelontorkan Bansos di Jateng Jelang Pilpres?

6 April 2024, 06:47 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menyampaikan kesaksiannya dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (5/4/2024). MK memanggil Sri Mulyani beserta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, serta Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk memberikan keterangan dan pendalaman lebih jauh oleh hakim konstitusi dalam sidang PHPU Pilpres 2024. ANTARA FOTO/Ad /ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO

INDOTRENDS.ID - Kubu Anies Baswedan atau Kubu Pasangan Calon Nomor Urut 1 di Sidang Sengketa Pilpres mengungkit: Mengapa Jokowi Rajin Gelontorkan Bansos di Jateng Jelang Pilpres?

Kubu Anies Baswedan meyakini, menggelontorkan Bansos di daerah Jawa Tengah harusnya bukan prioritas kalau lebih banyak kantong-kantong kemiskinan di Aceh yang harusnya jadi perhatian ekstra Presiden Jokowi, bukan Jawa Tengah.

Itu adalah secuil bagian dari bantahan Tim Hukum Nasional (THN) Timnas Anies-Muhaimin (AMIN) tentang pernyataan para menteri yang bersaksi di persidangan Mahkamah Konstitusi. Pernyataan empat menteri tentang Bansos dinilai tidak sesuai dengan apa yang terjadi di masyarakat.

Ketua THN Timnas AMIN Ari Yusuf Amir mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak mempermasalahkan pemberian perlindungan sosial seperti yang disampaikan. Namun ia menduga anggaran negara sebagian besar berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk meningkatkan elektabilitas calon tertentu.

“Kami punya beberapa buktinya dan sudah kami sampaikan kepada majelis hakim,” ujar Ari dalam keterangan tertulis pada Jumat 5 April 2024.

Ari menambahkan ada beberapa indikasi dari adanya penggunaan uang pajak masyarakat untuk meningkatkan perolehan suara salah satu calon. Seperti saat presiden berkunjung 30 kali selama periode 22 Oktober 2023-1 Februari 2024. 50 persen diantaranya dilakukan di Jawa Tengah.

"Jika memang daerah yang dikunjungi adalah daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, cukup banyak daerah yang kemiskinannya tinggi tapi tidak dikunjungi seperti Aceh,” katanya.

Kemudian, lanjut Ari, penjelasan Menkeu yang menjadikan kenaikan subsidi energi sebagai alasan tentu tidak tepat karena kenaikan belanja bansos bisa dilihat setelah subsidi energi dikesampingkan.

THN Anies-Muhaimin membantah pernyataan para menteri yang bersaksi di MK dan menilai tidak sesuai dengan yang terjadi di masyarakat

Realisasi Bansos

Dari data APBN Kinerja dan Fakta, yang diterbitkan secara bulanan oleh Kemenkeu, terlihat realisasi Bansos (Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar, Program Bantuan Iuran JKN) tahun 2023 adalah 156 Triliun, atau hampir 13 Triliun lebih tinggi dari jumlah yang dianggarankan yaitu 143.52 triliun.

Jika targetnya adalah masyarakat miskin, sementara jumlah masyarakat miskin justru turun (9.57 persen pada tahun 2022 menjadi 9.36 persen pada tahun 2023).

“Kenaikan ini menjadi pertanyaan. Apalagi jika dibandingkan dengan realisasi bulan Januari 2022, 2023, 2024. Pada tahun 2022, Realisasi Bansos pada bulan Januari adalah Rp2.47 Triliun. Sementara pada tahun 2023 mencapai Rp3.88 triliun. Angka tersebut melonjak menjadi Rp12.45 Triliun pada tahun 2024. Apa yang menyebabkan kenaikan realisasi bansos sebesar 220 persen ini secara spesifik di bulan Januari 2024?” tanyanya.

Menurutnya, jika disebabkan kenaikan harga beras, ada yang aneh karena jumlah impor beras lebih tinggi dari pada penurunan produksi beras. Pada tahun 2023, produksi beras turun 0,6 juta ton dibandingkan 2022.

Impor beras

Sementara impor beras, lanjut Ari, naik 2.63 juta ton dibandingkan dengan 2022. Logikanya, dengan kenaikan import yang jauh lebih besar dari penurunan produksi, harga akan stabil.

“Jika kita lihat subsidi non energi, jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan turun 17 persen, tapi realisasi anggarannya naik 41 persen. Jumlah orang yang mendapatkan subsidi KUR juga turun 39 persen, tapi subsidi kredit program yang sebagian besarnya adalah KUR, justru meningkat 60 persen,” katanya.

Karena itu, setidaknya ada 2 potensi implikasi negatif penggunaan bansos untuk meningkatan perolehan suara. Pertama yakni upaya pengentasan kemiskinan tidak akan maksimal karena dampak dari bansos terhadap probabilitas kemenangan tergantung dari jumlah orang miskin.

Kedua, tidak terciptanya persaingan elektoral yang sehat karena kandidat petahana/yang didukung petahana mendapatkan keuntungan akibat dukungan kebijakan bansos oportunistik.

“Dalam kondisi terburuk, kandidat yang tidak kompeten namun didukung oleh petahana akan memiliki kemungkinan terpilih lebih tinggi dibandingkan dengan kandidat lainnya yang jauh lebih kompeten. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi Indonesia di masa yang akan datang jika hal ini terjadi," ujarnya.

*** (Oktaviani/Pikiran Rakyat)

Editor: Dian Toro

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler