Kedua, rasa percaya dirinya sangat rendah.
Ketiga, punya kegelisahan yang berlebihan.
Menurutnya, kegelisahan yang berlebihan itu kemudian direspons atau dimanfaatkan lah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Mereka berdalih ingin menolong dengan doktrin agama yang sudah diselewengkan dari maksud yang sesungguhnya sehingga pelaku mendapatkan rasa aman dan percaya diri tapi semu.
“Jadi kegelisahan tersebut akhirnya dieksploitasi, dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga dia merasa aman, yang kemudian membuat mereka melakukan penyerangan (teror),” ujarnya.
Yenny Wahid menambahkan, radikalisme bukan lah bagian dari agama tetapi ajaran agama diselewengkan untuk mengindoktrinasi seseorang yang sedang mengalami rasa cemas dan putus asa sehingga mau melakukan penyerangan agar dia bisa eksis.
Dalam konteks Indonesia, jelasnya, dalil agama sangat mampu dipakai untuk mengindoktrinasi orang, terutama anak-anak muda yang sangat rentan dan masih mencari jati diri, termasuk generasi milenial.
“Itu PR (pekerjaan rumah) bagi kita semua, terutama keluarga.
Karena keluarga adalah tempat pembinaan yang utama, membangun fondasi yang kuat, memberikan rasa aman dan nyaman sehingga anak tidak stres," ucap Yenny Wahid mengingatkan.