"Shalat berjamaah pada dasarnya jika ada lelaki dan wanita, wanita adalah di belakangnya," ucapnya.
Akan tetapi, sambung Buya Yahya, jika ternyata wanita itu berada di samping atau satu barisan dengan lelaki, seperti yang biasanya terdapat pada musala-musala di kampung, shalatnya tetap sah dengan syarat berikut.
"Tidak usah perlu keras-keras, shalatnya sah apalagi ada pembatasnya, itu hanya masalah keutamaan harus di belakang lelaki. Kalau sudah ada pembatasnya aman," ujarnya.
Hanya memang, kata Buya Yahya, ada sebuah riwayat dari Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan Puan Maharani tidak sah.
"Ada riwayat dari Imam Abu Hanifah jika shalat lelaki dan wanita satu baris safnya, itu batal. Misalnya ada seorang lelaki dan wanita bersebelahan, yang batal adalah yang kiri, kanan, dan depannya saja," ungkapnya.
Maka dari itu, Buya Yahya menyimpulkan bahwa shalat yang dilakukan bersebelahan dengan lawan jenis akan tetap sah, namun harus menggunakan pembatas.
"Masalah shalat adalah tetap sah, cuman kalau pengen kesempurnaan ya tadi di belakang. Jika ternyata sudah ada musala-musala yang dibagi dua kanan kiri atau pembatasnya membagi dua, selama ada pembatasnya, aman," tuturnya.
"Biarpun satu baris makmumnya gak apa-apa, tapi harus ada pembatas yang benar sehingga tidak dirasakan kalau yang sampingnya itu lawan jenisnya," kata Buya Yahya menambahkan.