Amalinda berkata, partai baru selalu terbebani untuk memenuhi syarat administratif yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Syarat yang disebutnya adalah kewajiban sebuah partai baru untuk memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.
Pada saat yang sama, partai baru juga harus mempengaruhi warga untuk memilih mereka—sebuah tahap yang disebut Amalinda tidak kalah berat ketimbang tahap verifikasi administrasi.
Banyak partai baru, kata Amalinda, kerap gagal pada tahap turun ke masyarakat ini. Akibatnya, mereka tidak dapat meraih jumlah minimal suara untuk menempatkan kader di DPR.
“Jadi ini tentang infrastruktur partai politik yang gila, yang membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif,“ kata Amalinda.
“Verifikasi bisa diakali, tapi representasi itu berat untuk partai baru. Seberapa besar kemampuan mereka mengedukasi dan mempengaruhi warga di akar rumput untuk memilih mereka?“ ujarnya.
Merujuk tren pada beberapa pemilu terakhir, Amalinda menyebut partai baru harus bersiasat dengan perspektif jangka panjang. Setelah pemilu pertama, partai baru bisa berfokus untuk menjalin relasi dengan warga demi melampaui ambang batas parlemen.
“Aturan ambang batas parlemen 4% hampir tidak mungkin dicapai oleh partai baru. Tapi kalau proyeksinya adalah target 10 sampai 20 tahun, sambil melakukan pengorganisasian yang mendalam, syarat itu mungkin dicapai,“ kata Amalinda.
Situasi di Partai Buruh
Penuturan Amalinda sesuai dengan situasi yang terjadi di Partai Buruh. Partai yang secara resmi dibentuk pada Oktober 2021 ini diproyeksi sejumlah lembaga survei akan mendapat suara sekitar 0,6% dari total suara nasional.
Salah satu hambatan terbesar Partai Buruh adalah pemilu yang berbiaya tinggi, kata Ilhamsyah, Kepala Badan Pemenangan Pemilu di partai yang menyebut diri sebagai representasi kelas pekerja tersebut.